Breaking News
light_mode

Tuhan di Pihak yang Tertindas

  • account_circle Opsi Media
  • calendar_month Rab, 15 Okt 2025

Oleh: Moch Thoriqil Akmal B, S.H

Opini, Opsimedia.com – Di tengah hiruk pikuk dunia modern yang semakin dikendalikan oleh kekuasaan ekonomi dan politik, agama kerap menjadi penonton di pinggir jalan sejarah. Pidato-pidato keagamaan sibuk membahas surga dan neraka, tetapi lupa menengok penderitaan manusia di bumi. Dari titik kegelisahan semacam inilah, “teologi pembebasan” lahir sebuah seruan agar iman tidak berhenti di altar, tapi menyeberang ke jalan, menemani rakyat tertindas memperjuangkan keadilan.

Istilah Liberation Theology pertama kali menggema di Amerika Latin pada akhir 1960-an, terutama lewat tokoh-tokoh seperti Gustavo Gutiérrez, Leonardo Boff, dan Jon Sobrino. Mereka berangkat dari realitas sosial yang penuh ketimpangan: jutaan rakyat hidup dalam kemiskinan ekstrem sementara segelintir elite hidup dalam kemewahan. Gereja yang seharusnya menjadi penyambung lidah kaum miskin justru diam, bahkan sering kali bersekutu dengan penguasa.

Gutiérrez, seorang imam Katolik asal Peru, lalu menulis buku monumental A Theology of Liberation (1971). Ia menegaskan bahwa iman sejati tidak bisa netral terhadap ketidakadilan. Teologi, menurutnya, harus berpihak, berpihak kepada yang miskin, yang tertindas, dan yang dilupakan.

Teologi pembebasan menantang paradigma lama yang menempatkan keselamatan sebagai urusan akhirat semata. Dalam pandangan ini, keselamatan tidak bisa ditunda; ia harus dimulai di bumi, melalui perjuangan membebaskan manusia dari struktur dosa sosial, seperti penindasan, kemiskinan, dan eksploitasi.

Teologi pembebasan bukanlah ide utopis yang menjauh dari kenyataan. Justru sebaliknya, ia lahir dari pergumulan konkret masyarakat yang lapar, terpinggirkan, dan kehilangan martabat. Dalam pandangan para teolog pembebasan, Tuhan tidak berada di menara gading kekuasaan, melainkan di gubuk reyot para buruh tani. Tuhan tidak hanya hadir di altar gereja, tapi juga di jalanan tempat demonstrasi berlangsung, di ladang-ladang gersang, di ruang pengadilan yang tak berpihak, dan di kamp pengungsi yang penuh air mata.

Konteks inilah yang membuat teologi pembebasan menolak netralitas. Netral di hadapan ketidakadilan berarti berpihak kepada penindas. Iman, dalam pengertian ini, menuntut tindakan nyata — praxis — bukan sekadar kontemplasi. Sebagaimana Yesus yang menolak tunduk pada kekuasaan Romawi dan para pemuka agama yang korup, iman harus menjadi perlawanan terhadap struktur dosa yang melanggengkan penderitaan.

Bagi teologi pembebasan, dosa tidak hanya berarti tindakan individu yang salah. Dosa juga bisa menjadi sistemik tertanam dalam struktur sosial, ekonomi, dan politik yang menindas. Kemiskinan, misalnya, bukan sekadar akibat “nasib” atau “kurang usaha”, melainkan hasil dari sistem yang timpang. Ketika upah buruh tak sepadan dengan kerja, ketika tanah dikuasai korporasi, ketika kebijakan publik berpihak pada pemodal, maka dosa telah berubah menjadi struktur.

Karena itu, membebaskan manusia dari dosa berarti juga membebaskan masyarakat dari ketidakadilan sistemik. Gereja atau lembaga keagamaan apa pun tak bisa lagi hanya berkhotbah tentang moralitas pribadi, tapi juga harus menantang moralitas publik kebijakan, hukum, dan kekuasaan.

Meski lahir dari konteks Gereja Katolik di Amerika Latin, semangat teologi pembebasan juga menemukan gaungnya dalam Islam. Dalam Islam, pesan pembebasan sudah tertanam dalam misi kenabian. Nabi Muhammad SAW sendiri diutus bukan hanya untuk menyempurnakan akhlak, tetapi juga untuk membebaskan manusia dari perbudakan, penindasan, dan ketidakadilan sosial.

Konsep amar ma’ruf nahi munkar dalam Islam sejatinya adalah bentuk praksis teologi pembebasan. Begitu pula ajaran tentang zakat, infak, dan sedekah yang bukan sekadar amal spiritual, tapi mekanisme sosial untuk meruntuhkan ketimpangan ekonomi. Bahkan, ayat Al-Qur’an seperti “Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi…” (QS. Al-Qashash: 5) merupakan fondasi teologis bahwa Tuhan selalu berpihak kepada yang lemah.

Dalam konteks Indonesia, tokoh seperti KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bisa disebut menghidupkan semangat teologi pembebasan dalam Islam. Ia menolak agama dijadikan alat kekuasaan dan menegaskan bahwa keberagamaan sejati harus menegakkan keadilan sosial. Gus Dur, dengan gaya khasnya, mempraktikkan iman sebagai keberpihakan terhadap kaum minoritas dan tertindas.

Salah satu kritik tajam terhadap agama dewasa ini adalah kecenderungannya menjadi “teologi menara gading” — sibuk memperdebatkan hal-hal metafisik sementara realitas sosial diabaikan. Teologi pembebasan datang untuk membalikkan arah itu: dari langit ke bumi, dari dogma ke aksi, dari ritual ke solidaritas.

Agama, jika kehilangan dimensi sosialnya, akan menjadi candu seperti yang dikritik Karl Marx. Namun ketika iman menjadi kesadaran pembebasan, agama justru menjadi daya revolusioner yang luar biasa. Ia menggerakkan rakyat, memberi harapan, dan membangun moral kolektif untuk melawan ketidakadilan.

Teologi pembebasan mengajak umat beriman untuk bertanya secara kritis: “Di pihak siapa aku berdiri?” Apakah kita berada di sisi mereka yang diistimewakan oleh sistem, ataukah bersama mereka yang disingkirkan olehnya? Pertanyaan ini bukan hanya refleksi moral, melainkan panggilan eksistensial bagi setiap manusia beriman.

Namun, teologi pembebasan juga menghadapi tantangan besar di era kapitalisme global. Banyak lembaga keagamaan kini terjebak dalam logika pasar dan politik identitas. Gereja, masjid, dan organisasi keagamaan sering kali berlomba memperindah bangunan fisik dan memperbanyak pengikut, tapi melupakan substansi ajaran: kemanusiaan dan keadilan.

Teologi pembebasan menuntut keberanian moral untuk melawan arus ini. Ia tidak populer di mata penguasa, karena selalu menggugat struktur yang mapan. Tidak sedikit teolog pembebasan di Amerika Latin yang diasingkan, dibungkam, bahkan dibunuh. Namun, sebagaimana dikatakan Gutiérrez, “Tugas iman bukan mencari kenyamanan, tetapi kebenaran.”

Di Indonesia sendiri, semangat teologi pembebasan bisa diterjemahkan dalam konteks lokal: membela petani yang dirampas tanahnya, buruh yang digaji rendah, nelayan yang terpinggirkan, hingga masyarakat adat yang ditindas atas nama pembangunan. Inilah bentuk ibadah sosial wujud nyata dari cinta kepada Tuhan lewat cinta kepada sesama manusia.

Teologi pembebasan mengingatkan kita bahwa iman sejati tak bisa berhenti di bibir atau di sajadah. Iman yang sejati adalah iman yang berjalan, menembus batas kelas, ras, dan agama; menegakkan martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan yang setara.

Ketika kita melihat kemiskinan, kekerasan, dan korupsi sebagai hal “biasa”, maka di situlah iman kita sedang sekarat. Sebab iman yang sejati adalah yang menolak untuk terbiasa dengan ketidakadilan. Dalam bahasa Al-Qur’an, “Celakalah orang yang shalat, tapi lalai terhadap kebaikan sosial” (QS. Al-Ma’un). Pesan ini seirama dengan roh teologi pembebasan.

Teologi pembebasan bukan sekadar gerakan intelektual, tapi panggilan moral dan spiritual untuk menghadirkan kasih dalam struktur sosial. Dalam dunia yang penuh ketimpangan, iman bukan lagi sekadar tentang surga, melainkan tentang bagaimana membuat bumi sedikit lebih layak dihuni.

Pada akhirnya, teologi pembebasan memaksa kita meninjau kembali relasi antara agama dan realitas sosial. Apakah kita beribadah kepada Tuhan yang nyaman di istana, atau kepada Tuhan yang berdiri di antara rakyat miskin?

Jika Tuhan benar-benar Maha Adil, maka setiap bentuk ketidakadilan adalah penghinaan terhadap-Nya. Karena itu, membela kaum tertindas bukanlah pilihan ideologis, melainkan konsekuensi iman. Seperti kata Gustavo Gutiérrez, “To know God is to do justice” — mengenal Tuhan berarti menegakkan keadilan.

Dan di sanalah inti teologi pembebasan: menjadikan iman sebagai energi untuk membebaskan manusia dari segala bentuk belenggu, sosial, politik, ekonomi, maupun spiritual. Sebab Tuhan, pada akhirnya, selalu berpihak pada mereka yang diperjuangkan, bukan mereka yang menindas atas nama-Nya.

  • Penulis: Opsi Media

Rekomendasi Untuk Anda

  • Meresahkan, Seorang Pendamping PKH di Sapeken Terima Pesan dari yang Mengatasnamakan Pejabat Kejari Sumenep

    Meresahkan, Seorang Pendamping PKH di Sapeken Terima Pesan dari yang Mengatasnamakan Pejabat Kejari Sumenep

    • calendar_month Kam, 24 Jul 2025
    • account_circle Opsi Media
    • 0Komentar

    Sumenep, Opsimedia.com – Seorang pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) di Kecamatan Sapeken, Kabupaten Sumenep, mengaku resah karena menerima pesan singkat dari seseorang yang mengaku sebagai pejabat Kejaksaan Negeri (Kejari) Sumenep. Dugaan pencatutan nama pun mencuat setelah pesan tersebut dikonfirmasi tidak berasal dari institusi resmi kejaksaan. Kamis (24/7/2025). Pesan itu diterima oleh Atro Hidayat, pendamping PKH […]

  • KKN Tematik Hadirkan Keterampilan Baru untuk Warga Desa

    KKN Tematik Hadirkan Keterampilan Baru untuk Warga Desa

    • calendar_month Jum, 1 Agu 2025
    • account_circle Opsi Media
    • 0Komentar

    Pasuruan, Opsimedia.com – Balai Desa Genengwaru tampak lebih semarak dari biasanya, Jumat (25/7). Puluhan ibu-ibu PKK berkumpul dengan wajah antusias, mengikuti Workshop Menyulam, sebuah kegiatan pemberdayaan kreatif yang diinisiasi oleh mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik dari lintas universitas. Workshop ini tak sekadar ajang keterampilan, tetapi juga wadah membangun potensi ekonomi keluarga melalui sentuhan tangan […]

  • Pelatihan batik tulis kontemporer yang difasilitasi Paneka Batik

    Ayo Daftar, MA Miftahul Ulum Omben Sampang Bakal Gelar Pelatihan Batik Kontemporer

    • calendar_month Kam, 7 Agu 2025
    • account_circle Opsi Media
    • 0Komentar

    Sampang, Opsimedia.com – Madrasah Aliyah (MA) Miftahul Ulum, Klerker Tambak, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, menggandeng Paneka Batik akan menggelar pelatihan batik tulis kontemporer. Program ini merupakan bagian dari kegiatan ekstrakurikuler sekolah, dijadwalkan berlangsung di Balai Pelatihan Kerja MA Miftahul Ulum pada 24 Agustus 2025. Pelatihan terbuka untuk umum dan menyasar masyarakat, khususnya generasi muda yang […]

  • Streamlining Tasks: Automation Gadgets Revolutionizing Everyday Work

    Streamlining Tasks: Automation Gadgets Revolutionizing Everyday Work

    • calendar_month Rab, 17 Jan 2024
    • account_circle Opsi Media
    • 0Komentar

    As the timeline of technology perpetually accelerates, 2023 emerges as a testament to human creativity and ingenuity. The realm of gadgets is no longer restricted to mere utility; it’s about amplifying human potential and redefining boundaries. With each passing day, these handheld marvels become an even more integrated part of our daily lives, intertwining with […]

  • Selamat Ulang Tahun Bupatiku

    Selamat Ulang Tahun Bupatiku

    • calendar_month Rab, 21 Mei 2025
    • account_circle Opsi Media
    • 0Komentar

    Sumenep, Opsimedia.com – 46 tahun silam, tepatnya pada tanggal 21 Mei 1979, seorang ibu yang  sabar dan amat baik melahirkan engkau ke dunia mempertaruhkan nyawa dan mandi air mata. 46 tahun itu pula, kedua orang tua engkau yang yang niscaya ahli surga memberi nama Achmad Fauzi. Nama yang memiliki makna mendalam yang diambil dari bahasa […]

  • Kadis DPMD Sambangi Taman Keris di Desa Pakamban Laok: Ngaku Takjub dan Apresiasi

    Kepala DPMD Sumenep Sambangi Taman Keris di Desa Pakamban Laok: Ngaku Takjub dan Apresiasi

    • calendar_month Sab, 2 Agu 2025
    • account_circle Opsi Media
    • 0Komentar

    Sumenep, Opsimedia.com – Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Sumenep Anwar Syahroni Yusuf menyambangi Taman Keris Desa Pakamban Laok pada kegiatan pembukaan Pragaan Fair minggu lalu. Sebelumnya Kadis DPMD ini membuka secara resmi kegiatan Pragaan Fair atas nama Bupati Sumenep. Setelah itu ia tertarik menyambangi Taman Keris di halaman kantor balai desa Pakamban […]

expand_less